Gn. Sindoro (3150 mdpl), 1999
Berawal dari obrolan ringan sore hari, dipinggir jalan kota kecil. Bercengkrama dengan teman-teman, sesekali menatap jauh kearah depan, sebuah gugusan berbentuk segitiga berwarna biru di kejauhan. Ya sebuah gunung menjulang tinggi mempesona, apalagi saat langit cerah. Hampir setiap hari tak lepas begitu saja dari pandangan, semakin hari semakin penasaran ingin lebih dekat. Akhirnya muncul juga ide, kenapa kita tidak coba mendakinya, apalagi saat itu (akhir tahun 90an) belum ada media sosial seperti sekarang ini. Pengetahuan seputar pendakian gunung masih sangat awam, hanya sesekali dapat cerita dari teman yang sudah duluan mendaki gunung. Perlahan-lahan alat/ keperluan mendaki saya kumpulkan, mulai dari tas ransel (carrier), tenda, pakaian hangat, perlengkapan memasak hingga perlengkapan pribadi lainnya dan tak lupa juga sebuah kamera film untuk dokumentasi pada saat itu. 

Tiba saat waktunya mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat. Sebelumnya team kecil sudah terbentuk.
Basecamp pendakian Gn. Slamet, 2003
Dan kita pun mulai menetapkan tujuan, ke gunung mana kita akan mendaki, lewat mana jalur yang mesti kita tempuh dan apa puncak gunung adalah tujuan akhir dari pendakian kita. Seperti sebuah perjalan kehidupan yang harus kita ketahui tujuannya, kemana kita harus melangkah agar tercapai tujuan kita. Disini team kecil mulai harus satu suara untuk semua itu, agar tidak terjadi perbedaan pendapat saat perjalanan sedang dilakukan. Meskipun perbedaan pendapat itu sangatlah wajar, tetapi akan lebih baik jika itu sudah terselesaikan saat awal kita memulai sesuatu.

Gn. Mahameru (3676 mdpl), 2004
Kita bisa mendaki seorang diri, menikmati perjalanan sendirian...tetapi akan lebih baik jika melakukannya bersama teman, sahabat atau bahkan orang terdekat di hati kita bukan. Hidup pun saya rasa begitu, kodrat kita sebagai mahluk sosial yang selalu memerlukan keberadaan orang lain. Teman perjalanan dalam pendakian atau pendamping hidup dalam kehidupan, yang saling bisa mengerti kondisi yang harus di alami, di hadapi ataupun di lewati. Hiduplah bersama orang menemani kita mendaki, bukan menunggu kita di puncak.

Gn. Slamet (3428 mdpl), 2000
Mendaki gunung bukan perihal menaklukan alam atau menjadi merasa hebat tetapi sejatinya adalah menaklukan diri sendiri, melawan, mengendalikan ego kita. Tidak menyerah begitu saja walaupun dilanda kelelahan, harus melewati medan terjal dan tidak juga memaksakan kemampuan diri kita. Semua perlu perjuangan, hidup seperti itu juga.
Gn. Lawu (3265 mdpl), 2002
Ada saatnya kita berhenti sejenak, mengistirahatkan diri kita sembari sesekali menoleh kebelakang, berkaca pada masa lalu agar mengerti kekurangan kita untuk diperbaiki kedepannya.

Gn. Sumbing (3371 mdpl), 1999
Puncak gunung adalah tujuan akhir dari pendakian tetapi itu tidak selalu menjadi impian setiap pendaki. Ada yang sekedar ingin menikmati perjalanan, ada juga hanya untuk menikmati kebersamaan atau bahkan hanya untuk membantu teman seperjalanannya meraih impiannya yaitu mencapai puncak gunung. Dalam hidup ini pun demikian, setiap orang mempunyai impian masing-masing, kita harus menghormatinya.




Gn. Slamet (3428 mdpl), 2000

Masih banyak orang baik didunia, meskipun cuma bersedia memotret kita, menawarkan segelas air minum atau tersenyum saat berpapasan dengan kita saat mendaki gunung. Hargai setiap kebaikan orang lain, sekecil apapun itu.







Gn. Sindoro (3150 mdpl), 2002
Cobalah sesekali keluar dari zona nyamanmu, sesuatu yang mempesona, mengagumkan dan bisa jadi sesuatu hal yang cuma kita rasakan satu kali dalam hidup bisa kita temui.

Gn. Slamet (3428 mdpl), 2000
Jangan sombong !!!, ternyata kita bukan apa-apa, hanya sebagian kecil sekali dari puncak gunung, apalagi gunung itu atau bahkan dari bumi ini. Jangan pernah berhenti bersyukur, masih bisa menikmati mahakaryaNya hingga detik ini.


Gn. Mahameru (3676 mdpl), 2004
Pada akhirnya kita pahami makna pulang. Hangat kopi digunung memang membuat rindu, tetapi kehangatan bersama keluarga adalah kerinduan itu sendiri. 


I love my family,