Akupun berlari ke jalan depan rumah, teman-teman masa kecilku juga. Klontang…klontang…klontang suara merdu dan berirama dari gantungan (bandul) kalung sapi, sesekali juga terdengar suara ”ceterrr…”, ya itu suara dari cambuk si joki gerobak kayu berukuran cukup besar, beratapkan anyaman sesetan bambu (tabag/ gribig) dan dilapis ijuk bagian atasnya. Roda besar seukuran truk pasir berjalan pelan karena memang cukup berat beban yang dibawanya, setumpuk bata merah pesanan pembeli tertata rapi, seorang joki dan beberapa asistennya. Dibagian depan dua ekor sapi putih membungkuk lelah menarik gerobak tersebut.
Setelah gerobak tersebut lewat didepan kami (aku dan teman-teman masa kecilku), kamipun berlari mengejarnya, menunduk dan melompat menumpang gerobak itu secara diam-diam. Hap..kami pun menggantung di bagian belakang gerobak itu…riang, dan kami pun cukup puas terhibur akan semua itu. Sederhana tapi sangat menyenangkan, aku sangat merindukan hal itu. Hoiii…terkadang terdengar suara teriakan dari atas gerobak itu, teriakan yang bernada kurang suka kalau kami menumpang di belakangnya. Kami pun merasa cemas, kami pun turun dari gerobak itu dengan sedikit kekecewaan. Dan keriangan tidak berhenti di hari itu, kami pun akan melakukan hal yang sama keesokan harinya, kami setia menanti, meskipun belum tentu kami jumpai.
Kami menyebutnya ”Sapi Papong”, sebuah nama yang kami pun tidak mengerti asalnya dari mana kata-kata itu. Waktu terus berjalan, jaman pun berganti…sapi papong lambat laun tak terlihat lagi, berganti roda-roda bermesin yang berputar tak lambat lagi.
Sekarang semua itu tinggalah kenangan, bagaikan sebuah kejayaan masa kecil dulu, sebuah cerita kebanggaan di masa kini. Sebuah semangat dalam kesederhanaan untuk menyampaikan amanat kiranya dapat kita petik dari cerita singkat masa lalu yang tidak berbobot ini.

0 Comments
Posting Komentar